Renungan
by Amin Mulyanto on Wednesday, August 17, 2011 at 1:40pm
: tentang letusan
Petasan pun berbunyi, sedikit nyala api terpercik dari letusannya, asap mengepul menyesakkan setiap nafas yang kebetulan lewat di pelataran itu. Kulihat keceriaan terpancar dari sekumpulan bocah-bocah kampung siang itu. Raut bangga telah melenakan dan mengacuhkan pandangan mereka akan masyarakat sekitar. Entah karena keluguan dan cara berpikir mereka yang seperti itulah yang memunculkan sebuah kepahaman akan sifat yang seharusnya menjadi tak wajar.
Seorang tua berjalan menghampiri kerumunan itu. Tanpa sadar telah tersulut petasan yang mengarah pada arah si tua itu berjalan. Duh…seketika itu juga si tua pun jatuh sambil menghela nafas panjangnya. “Alhamdulillah”, katanya. Hari ini telah Kau tunjuk-ingatkan kepadaku jalan yang selama ini aku cari dalam ingatanku. Enam puluh enam tahun yang memberiku semangat dan kegigihan untuk selalu berupaya dengan ikhlas mewujudkan sebuah negeri yang bermartabat.
Sementara masih terduduk kaget, si tua itu pun terus saja mengoceh tentang sebuah perjuangan. Letusan itu mengantar ingatannya kembali normal, mengenang detikdetik waktu di mana kemerdekaan akan segera dirasakan.
ketika itu, letusan terus mengarah
pada pijakan aku tegar berdiri
menghalau kekuatan yang menghantam
di setiap penjuru kutetap semangat
menuangkan kata-kata berkobar
“merdeka” atau ‘mati”
harga diri tiada yang terbeli
itu pun pasti
Lalu, si tua itu menangis. Terharu akan perjuangan tempo dulu.
Sesaat kemudian dia berdiri menghampiri bocah-bocah kampung. “Nak jangan kau kotori kampung ini dengan bunyi-bunyian yang membuat harga diri anda terinjak-injak”. Tunjukkan semangat membangun karena negeri ini membutuhkan anakanak negeri yang peduli…
Si tua pun menitipkan semangat perjuangannya dan sambil lalu dia menyanyikan sebuah lagu Indonesia Raya……..dalam hati dia pun menggerutu semoga kalian paham ya nak…..
17082011
Petasan pun berbunyi, sedikit nyala api terpercik dari letusannya, asap mengepul menyesakkan setiap nafas yang kebetulan lewat di pelataran itu. Kulihat keceriaan terpancar dari sekumpulan bocah-bocah kampung siang itu. Raut bangga telah melenakan dan mengacuhkan pandangan mereka akan masyarakat sekitar. Entah karena keluguan dan cara berpikir mereka yang seperti itulah yang memunculkan sebuah kepahaman akan sifat yang seharusnya menjadi tak wajar.
Seorang tua berjalan menghampiri kerumunan itu. Tanpa sadar telah tersulut petasan yang mengarah pada arah si tua itu berjalan. Duh…seketika itu juga si tua pun jatuh sambil menghela nafas panjangnya. “Alhamdulillah”, katanya. Hari ini telah Kau tunjuk-ingatkan kepadaku jalan yang selama ini aku cari dalam ingatanku. Enam puluh enam tahun yang memberiku semangat dan kegigihan untuk selalu berupaya dengan ikhlas mewujudkan sebuah negeri yang bermartabat.
Sementara masih terduduk kaget, si tua itu pun terus saja mengoceh tentang sebuah perjuangan. Letusan itu mengantar ingatannya kembali normal, mengenang detikdetik waktu di mana kemerdekaan akan segera dirasakan.
ketika itu, letusan terus mengarah
pada pijakan aku tegar berdiri
menghalau kekuatan yang menghantam
di setiap penjuru kutetap semangat
menuangkan kata-kata berkobar
“merdeka” atau ‘mati”
harga diri tiada yang terbeli
itu pun pasti
Lalu, si tua itu menangis. Terharu akan perjuangan tempo dulu.
Sesaat kemudian dia berdiri menghampiri bocah-bocah kampung. “Nak jangan kau kotori kampung ini dengan bunyi-bunyian yang membuat harga diri anda terinjak-injak”. Tunjukkan semangat membangun karena negeri ini membutuhkan anakanak negeri yang peduli…
Si tua pun menitipkan semangat perjuangannya dan sambil lalu dia menyanyikan sebuah lagu Indonesia Raya……..dalam hati dia pun menggerutu semoga kalian paham ya nak…..
17082011
No comments:
Post a Comment