Thursday, 22 September 2011

BERSANDAR KEPADA ALLAH DI SETIAP WAKTU

Oleh: Abu ‘Ashim Muhtar Arifin bin Marquzi, Lc.

Menyandarkan hati kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- adalah termasuk ibadah yang sangat diperintahkan dalam Islam. Hal itu karena seorang hamba selalu memerlukan Rabb-nya dalam setiap keadaan.

Allah -Subhanahu wata’ala- sendiri telah menyifati diri-Nya dengan Dzat yang menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya:
الله الصمد

Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS. al-Ikhlâsh: 2)

Ibrahim berkata: ”ash-Shamad artinya Dzat yang menjadi tempat bergantungnya para hamba dalam kebutuhan-kebutuhannya”. (ad-Durr al-Mantsūr, jilid 15, hlm. 782)

Bergantung kepada Allah setiap saat.

Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- telah mengajarkan umatnya beberapa doa yang khusus untuk dibaca setiap pagi dan sore hari atau yang lebih dikenal dengan adzkâr ash-Shabâh wa al-Masâ` (dzikir pagi dan petang). Di dalamnya banyak berisi permohonan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, antara lain doa agar diberikan perlindungan dan keselamatan pada hari atau malam itu.

Salah satu doa Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- tersebut adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas -radhiallohu anhu- berikut, ia berkata: Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- berkata kepada Fatimah -radhiallohu anha-
مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِيْ مَا أُوْصِيْكِ بِهِ ؟ أَنْ تَقُوْلِيْ إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ

Apa yang menghalangimu dari mendengarkan wasiatku kepadamu ? Hendaklah engkau membaca (doa ini) apabila berada di waktu pagi hari dan sore hari:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Wahai Dzat Yang Maha Hidup Kekal, Wahai Dzat Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah semua urusanku dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku walaupun hanya sekejap mata”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 48 dan dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah, jilid 1, hlm. 449, no. 227)
Hal itu menunjukkan bahwa seorang hamba harus senantiasa merasa bergantung kepada Allah dalam setiap keadaan.

Kembali kepada Allah meskipun dalam permasalahan yang terlihat sepele.

Dalam permasalahan yang terlihat sepele dan ringan saja, seorang muslim dianjurkan dan diperintahkan agar berdoa kepada Allah. Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- bersabda:
لِيَسْتَرْجِعْ أَحَدُكُمْ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ، حَتىَّ فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ، فَإِنَّهَا مِنَ الْمَصَائِبِ

Hendaklah seorang dari kalian mengucapkan istirjâ’ (Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ūn: sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semata kita akan kembali) meskipun dalam hal tali sandalnya, karena hal itu adalah termasuk musibah. (Hadits hasan, al-Kalim ath-Thayyib, dengan takhrîj al-Albani, hlm. 81, no.140)

Contoh Sikap Bergantungnya orang Shalih kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Apabila kita buka lembaran sirah para ulama, maka akan didapati banyak sekali praktek mereka dalam menjalankan ibadah yang sangat agung ini, yaitu bersandar kepada Allah dalam segala hal, setiap waktu dan semua permasalahan.
Berikut ini adalah beberapa contoh praktek mereka dalam bersandar kepada Allah.

1. Abu Hanifah.
Apabila beliau mendapatkan kesulitan, beliau beristighfar kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut:

Dari Abu Ja’far al-Balkhi, salah seorang ahli fiqih, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwasanya Abu Hanifah -semoga Allah merahmatinya- dahulu apabila mendapatkan kesulitan dalam suatu permasalahan atau mendapatkan syubhat di dalamnya beliau berkata kepada para sahabatnya: “Tidaklah ini terjadi melainkan karena dosa yang telah aku perbuat”, lalu beliau beristighfar dan kadang-kadang beliau berwudlu dan melakukan shalat dua rakaat lalu beristighfar, maka terselesaikanlah masalahnya, lalu beliau berkata: “Aku optimis, karena aku berharap bahwasanya aku telah diampuni oleh Allah sehingga aku dapat menyelesaikan masalah tersebut”.

Ketika berita ini sampai kepada Fudhail Bin ‘Iyadh, ia menangis sejadi-jadinya lalu berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, hal itu dapat terjadi karena sedikitnya dosa yang ia miliki, sedangkan selain beliau, mereka tidak memperhatikannya, karena dosanya telah menenggelamkan dirinya”. (‘Uqūd al-Jumân fî Manâqib al-Imâm al-A’zham Abu Hanîfah an-Nu’mân, karya Imam Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi asy-Syafi’i (wafat 942), hlm. 228-229)

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Apabila beliau merasa kesulitan dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur`an, beliau memohon kepada Allah seraya membaca:
الَلَّهُمَّ يَا مُعَلِّمَ آدَمَ وَإِبْرَاهِيْمَ، عَلِّمْنِيْ، وَيَا مُفَهِّمَ سُلَيْمَانَ فَهِّمْنِيْ

Wahai Dzat yang mengajari Adam dan Ibrahim, ajarilah aku, dan Wahai Dzat yang memberi kepahaman kepada Sulaiman, jadikanlah aku paham.

Setelah membaca doa ini, Allah pun mengabulkan permintaannya. (al-Majmū’ah al-’llmiyyah, hlm. 181, karya Syaikh Bakr, jauh sebelumnya ungkapan ini sudah dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lâm al-Muwaqqi’în, jilid 4, hlm. 257 dengan lafal yang lebih pendek)

3. Abu Ishaq p-Syirazi.
Imam an-Nawawi -rahimahullah- menjelaskan tentang keadaannya, bahwasanya dirinya tidak mengatakan tentang suatu masalah pun melainkan mendahuluinya dengan beristi’ânah (memohon pertolongan) kepada Allah. Selain itu juga, tidaklah beliau menulis suatu permasalahan melainkan mendahuluinya dengan shalat beberapa rakaat. (Muqaddimah al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 15)

4. Urwah Bin Zubair.
Beliau mengatakan:
إِنِّيْ لأَدْعُوْ اللَّهَ فِيْ حَوَائِجِيْ كُلِّهَا، حَتَى بِالْمِلْحِ

Sesungguhnya aku benar-benar berdoa kepada Allah dalam segala keperluanku sampai (dalam hal) garam. (al-Fawâkih ad- Dawâni Syarh Risâlah Ibn Zaid al-Qirwâni, karya Ahmad bin Ghunaim al-Maliki, jilid 1, hlm. 211)

5. Sa’id bin al-Musayyib.
Hampir-hampir Sa’id Bin al-Musayyab tidak berfatwa dengan suatu fatwa atau melontarkan suatu ucapan melainkan mengatakan:
الَلَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّيْ

Ya Allah, selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia dariku. (al-Madkhal ilâ as-Sunnan al-Kubrâ, karya al-Baihaqi, no. 824, hlm. 439-440)

Bergantung kepada selain Allah termasuk perusak hati.

Sesungguhnya hati manusia dapat menjadi rusak disebabkan oleh beberapa perusak, di antaranya adalah bergantungnya seseorang kepada selain Allah.

Ketika Ibnul Qayyim t menjelaskan tentang perusak-perusak hati dalam Madârij as-Sâlikîn, beliau menerangkan bahwa bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala- termasuk perusak yang paling besar terhadap hati secara mutlak, karena tidak ada yang lebih berbahaya dan lebih dapat memutuskan hati dari kebaikan dan kebahagiaanya dari pada bergantung kepada selain Allah tersebut. Selain itu, apabila seseorang bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala-, maka ia akan diserahkan kepada objek yang menjadi tempat bergantungnya tersebut. (Madârij as-Sâlikîn, jilid 1, hlm. 492)

Orang yang bergantung kepada selain Allah telah merugi dengan kerugian yang besar karena telah bergantung kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan madharat.

Ibnul Qayyim telah membuat perumpamaan berikut: “Perumpamaan orang yang bergantung kepada selain Allah itu laksana orang yang berteduh dari dingin dan panas dengan sarang laba-laba, yang merupakan selemah-lemahnya rumah” (Madârij as-Sâlikîn, jilid 1, hlm. 492)

Setelah mengetahui bagaimana pentingnya kembali, bergantung dan bersandar kepada Allah dalam segala urusan, maka kita akan mengetahui pentingnya melakukan shalat istikhârah dan membaca do’anya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah n. Bahkan al-Imam al-Qurthubi mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan: “Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk maju dan memilih suatu perkara duniawi sampai ia meminta kepada Allah pilihan dalam hal itu dengan shalat istikhârah sebanyak dua rakaat “. (al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid 18, hlm. 306)
Semoga Allah memberi bimbingan kepada kita untuk dapat selalu bergantung kepada-Nya dan melindungi hati-hati kita dari sikap ketergantungan kepada selain-Nya.

Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 49, hal. 37-40

No comments:

Post a Comment