Menunggu Jodoh
Menikmati Episode Menunggu Jodoh ♥☀ ……..♥☆˚◦☀°•˚◦♥♥◦˚•°☀◦˚☆ ♥………
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu pasangan dari jenis kamu
sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih
sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda
(kekuasaan-Nya) bagi kamu yang berpikir.” (QS. Ar Ruum: 21) Jodoh
berarti pasangan hidup manusia yang sepadan; cocok; serasi; sesuai
benar; kena benar; atau setuju hatinya. Dewasa ini banyak pasangan yang
belum berjodoh bingung apa yang mesti diperbuat dalam menunggu jodohnya.
Padahal dari ayat Alquran di atas, mengajarkan kita agar berpikir,
termasuk dalam menentukan pasangan (jodoh). Di sini, ada makna rentang
waktu antara menunggu jodoh dengan membangun keluarga sakinah bersama
pasangan kita kelak. Menunggu jodoh ialah menantikan; mengharapkan
(sesuatu yang mesti datang atau terjadi) terhadap pasangan hidup kita.
Jadi, menunggu jodoh bukan berarti menunda jodoh untuk terlaksananya
perkawinan. Pada koridor itulah, kita seharusnya dapat menikmati episode
menunggu jodoh sebagai ladang amal mempersiapkan membangun keluarga
sakinah, sambil menunggu pasangan hidup kita. Pertanyaannya, apa saja
yang perlu kita nikmati dalam menunggu jodoh itu? Betapa banyaknya,
dikalangan pria dan wanita yang tidak maksimal menikmati menunggu jodoh
dengan melakukan hal-hal yang dapat mendukung dalam pembangunan keluarga
sakinah yang akan dibentuknya di kemudian hari. Padahal, begitu
banyaknya sisi-sisi keilmuan dan keteladanan yang perlu disusun
membentuk bongkahan benteng yang siap menghadang serbuan virus-virus
penyebar kebusukan dalam ikatan keluarga kita kelak. Episode menunggu
jodoh, juga bukan berarti kita dengan seenaknya menikmati masa-masa itu
dengan tergelincir dan tergoda oleh nafsu yang ada dalam dirinya,
sehingga melanggar atau menjauh dari syariat yang diwajibkan-Nya. Yakni,
pria maupun wanita hendaknya melalui Episode menunggu jodoh –masa
remajanya—dengan selalu waspada terhadap segala goda dan rayuan setan.
Rasulullah bersabda, “Wahai pemuda, barangsiapa di antara kamu sanggup
membayar mas kawin dan memberi nafkah, hendaklah kawin, karena
perkawinan dapat memelihara dirimu. Pemuda yang tidak sanggup kawin
hendaklah berpuasa. Puasa itu dapat mematahkan syahwatnya.” (HR.
Bukhari). Berikut ini, hal-hal yang perlu dinikmati dalam episode
menunggu jodoh sebagai peletak dasar dalam mempersiapkan bangunan
keluarga sakinah. Pertama, menikmati dalam membekali diri dengan
ilmu-ilmu yang diperlukan/berkait dalam berumah tangga. Kebanyakan dari
kita merasa kurang sekali dalam pembekalan yang satu ini. Padahal, ilmu
sungguh merupakan modal kesuksesan yang patut kita kedepankan dalam
hidup ini –termasuk dalam membangun rumah tangga-. Bukankah hal itu,
bisa kita lakukan bila kita telah menikah? Ya, tindakan ini pun tidak
salah. Tapi, alangkah tepat dan nikmatnya seandainya ilmu yang berkaitan
dengan kerumah tanggaan itu sudah kita miliki jauh-jauh hari sebelum
masa perkawinan. Dan tentu, hasilnya akan jauh lebih baik. Selain itu,
bukankah ada sebuah kewajiban maupun kebajikan dalam pernikahan yang
menuntut kita untuk memiliki ilmunya, sehingga kita bisa melaksanakan
dengan baik dan tidak menyimpang. Misalnya, ilmu yang berkenaan dengan
apa yang akan kita lakukan (mengajarkan ilmu agama pada istri dan anak;
menasehati istri; mengingatkan suami; dll) dan ilmu tentang bagaimana
melakukan (mendampingi suami; menggauli istri/suami; melayani suami;
mendidik anak; mengelola keuangan keluarga; dll). Kedua, menikmati dalam
mempersiapkan kemampuan memenuhi tanggung jawab suami/istri. Ada banyak
tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh mereka yang sudah menikah,
sehingga kadangkala membuat sebagian orang takut menikah. Seorang suami
berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anaknya serta menyediakan
tempat tinggal sesuai dengan kadar kesanggupannya. Berbarengan dengan
ini, tentu istri punya kewajiban (pula) untuk menerima tanggung jawab
suami dengan hati terbuka. Yaitu tidak menuntut suami untuk memberikan
sesuatu yang diluar kesanggupan untuk memberinya. Lebih-lebih jika
ketidakrelaan seorang istri tersebut, membuat suami melakukan perbuatan
mungkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Di sini, kuncinya tidak lain adalah
pentingnya sebuah ilmu. Ketiga, menikmati dalam kesiapan menerima anak.
Hal ini, tentu perlu dipersiapkan sejak dini bahwa seorang yang siap
melangsungkan perkawinan maka sejalan dengan itu, ia harus pula siap
untuk menerima kehadiran seorang anak. Lalu, apa yang perlu dinikmati
dalam posisi menunggu jodoh berkait dengan kesiapan menerima kehadiran
anak? Yaitu nikmatnya, bila kita mampu membangun keilmuan tentang
bagaimana arti seorang anak, mendidik anak, perilaku perkembangan anak,
psikologi anak, dll. Dampaknya, dikemudian hari tentu kita tidak menjadi
kesal/kaget apabila menghadapi beberapa perubahan anak dalam
perkembangn fisik dan tingkah lakunya, karena secara keilmuan kita telah
mempersiapkannya. Keempat, menikmati dalam membangun kesiapan psikis.
Tanpa dipungkiri, kadangkala kita hanya membayangkan indahnya
pernikahan, tanpa berusaha belajar untuk selalu siap menerima
kekurangan-kekurangan dari orang yang kelak menjadi pasangan (jodoh)
kita. Pada episode menunggu jodoh inilah, kita harus menikmati dengan
membangun kesiapan psikis sebagai bekal kelak setelah menikah. Tepatnya,
kesiapan psikis –menerima kekurangan pasangan kita- ini tidak berarti
lantas kita leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan tersebut,
sekalipun hal itu memang sepatutnya dimaklumi daripada dituntut untuk
diperbaiki. Kelima, menikmati dalam membekali kesiapan ruhiah. Dalam
episode menunggu jodoh ini, tentu sangat nikmat kalau kita bekali dengan
kesiapan ruhiah. Betapa tidak? Karena bila kesiapan ruhiahnya memang
benar-benar baik (jernih), ia dapat membedakan antara hak Adami dan
kewajiban kepada-Nya -sesuai ajaran Islam- sehingga ia tetap dapat
memilih. Dalam hal ini, al-Hasan bin Ali ra. memberitakan suatu ketika,
seorang laki-laki berkata kepada cucu Nabi ini, “Saya mempunyai seorang
putri. Jika ada yang berniat menikahinya, saya akan nikahkan dia.” Maka
al-Hasan berkata, “Nikahkan putrimu dengan laki-laki yang bertakwa
kepada Allah SWT. Jika ia menyukai putrimu, ia pasti akan memuliakannya.
Jika ia sedang marah, ia tidak akan menzalimi putrimu.” Sungguh
nikmatnya, bila kita memiliki kebersihan ruhiah dengan ketakwaan
kepada-Nya, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaannya. Artinya,
bila ia menyukai istri/suaminya, kecintaannya itu melahirkan sikap
memuliakan. Akhirnya, pada tataran demikianlah, kita sudah selayaknya
menikmati episode menunggu jodoh dengan hal-hal yang mengantarkan pada
terwujudnya keluarga sakinah. Sungguh ini sama sekali bukan kerugian.
Allah telah berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik,
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
(QS. An-Nuur
No comments:
Post a Comment